Beranda  ❯  SUBJECT MATTER EXPERT  ❯  PPh Pasal 21/26
SUBJECT MATTER EXPERT

PPh Pasal 21/26

I. Dasar dan Konsep PPh 21
 
1. Pengantar PPh 21: Definisi, Dasar Hukum, dan Fungsi
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukannya. Ini adalah jenis pajak yang dipotong langsung oleh pihak yang memberikan penghasilan, seperti perusahaan atau pemberi kerja, sebelum penghasilan tersebut diterima oleh karyawan. Konsepnya adalah 'pajak potong-pungut' (withholding tax) di mana pemberi kerja bertugas sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk memungut pajak dari gaji karyawannya. Dasar hukum utama yang melandasi PPh 21 adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang terakhir diperbarui melalui UU HPP (Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan). Selain itu, ada aturan pelaksana seperti PP 55 Tahun 2022 dan PMK 168/PMK.03/2023 yang mengatur detail teknisnya. Bagi lembaga pendidikan seperti yayasan, kewajiban memotong PPh 21 sama dengan perusahaan pada umumnya, tanpa ada pengecualian khusus.
 
2. Subjek dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21
Untuk memahami PPh 21, kita perlu membedakan antara subjek dan objek pajak.
Subjek Pajak adalah individu yang menerima penghasilan. Ini mencakup pegawai tetap, pegawai tidak tetap, tenaga lepas, hingga mitra dan
freelancer. Intinya, siapa pun yang menerima uang dari hasil kerja adalah subjek PPh 21. Di sisi lain,
Objek Pajak adalah jenis penghasilan yang dikenai PPh 21. Ini meliputi gaji pokok, upah, honorarium, tunjangan, insentif, bonus, dan uang lembur. Namun, perlu diperhatikan bahwa ada beberapa penghasilan yang dikecualikan, terutama jika diberikan dalam bentuk natura (bukan uang), seperti uang makan yang diberikan dalam bentuk makanan siap saji atau fasilitas antar-jemput.
 
3. Mekanisme Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh 21
Mekanisme PPh 21 melibatkan tiga tahapan utama: memotong, menyetor, dan melaporkan. Pertama, perusahaan wajib
memotong PPh 21 saat membayar gaji atau penghasilan kepada karyawan, biasanya di akhir bulan. Kedua, pajak yang sudah dipotong harus
disetor ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Penyetoran ini dilakukan melalui sistem
e-Billing menggunakan kode akun pajak yang spesifik. Terakhir, perusahaan wajib
melaporkan pemotongan dan penyetoran tersebut melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh 21. Pelaporan ini harus dilakukan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dan saat ini sudah menggunakan sistem elektronik (
e-Filing). Perusahaan juga harus membuat bukti potong PPh 21 untuk setiap karyawan sebagai dokumen pendukung.
 
4. Kode Status PTKP dan Pengaruhnya terhadap PPh 21
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah batasan penghasilan yang tidak dikenai pajak. Status PTKP setiap individu bergantung pada status pernikahan dan jumlah tanggungan keluarga. Kode yang umum digunakan adalah TK/0 (Tidak Kawin/0 Tanggungan), K/0 (Kawin/0 Tanggungan), K/1, K/2, hingga K/3. Besaran PTKP ini sangat berpengaruh pada besarnya potongan PPh 21. Sebagai contoh, PTKP untuk TK/0 adalah Rp54 juta per tahun, sedangkan untuk K/3 adalah Rp112,5 juta per tahun. Jika perusahaan salah mengasumsikan status PTKP, misalnya menganggap semua karyawan sebagai TK/0, maka potongan pajak karyawan yang seharusnya berstatus K/3 akan menjadi lebih besar dan merugikan mereka. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk meminta dokumen pendukung seperti Kartu Keluarga dan NPWP pasangan dari setiap karyawan.
 
5. Penentuan Penghasilan Kena Pajak: Pegawai Tetap vs. Tidak Tetap
Perhitungan PPh 21 dibedakan berdasarkan status kepegawaian. Untuk
pegawai tetap, perhitungan PPh 21 lebih kompleks karena harus memperhitungkan komponen seperti Penghasilan Bruto (gaji, tunjangan), Biaya Jabatan, Iuran Pensiun, dan terakhir dikurangi PTKP untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Sementara itu, untuk
pegawai tidak tetap atau harian lepas, perhitungannya lebih sederhana. Jika penghasilan harian mereka tidak melebihi Rp450.000 atau total penghasilan bulanan tidak melebihi Rp4,5 juta, PPh 21 tidak dikenakan. Namun, jika melebihi batas tersebut, perhitungan PPh 21-nya dihitung menggunakan tarif progresif langsung atas penghasilan bruto, tanpa pengurangan biaya jabatan atau PTKP.
II. Perhitungan PPh 21
 
6. Perhitungan PPh 21 Karyawan Tetap: Studi Kasus Gaji Bulanan
Perhitungan PPh 21 untuk karyawan tetap melibatkan beberapa langkah. Pertama, semua penghasilan setahun (gaji pokok, tunjangan) dijumlahkan. Kemudian, total penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya yang diperbolehkan seperti biaya jabatan dan iuran pensiun, untuk mendapatkan penghasilan neto setahun. Setelah itu, penghasilan neto dikurangi dengan PTKP sesuai status karyawan (misal: K/1) untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP inilah yang akan dikenai tarif pajak progresif (5%, 15%, dst.) untuk mendapatkan PPh 21 setahun. Jumlah PPh 21 setahun kemudian dibagi 12 untuk mendapatkan potongan pajak bulanan. Dalam skema nett, pajak ini ditanggung perusahaan, bukan dipotong dari gaji karyawan.
 
7. Perhitungan PPh 21 Karyawan Tidak Tetap & Harian Lepas
Perhitungan PPh 21 untuk karyawan tidak tetap dan harian lepas memiliki metode yang berbeda. Berdasarkan aturan, jika upah harian melebihi PTKP harian (Rp450.000:30 hari = Rp15.000), maka PPh 21 dikenakan. Misalnya, seorang tenaga lepas dengan upah Rp400.000 per hari selama 20 hari, maka penghasilan brutonya adalah Rp8.000.000. PPh 21-nya dihitung dengan mengalikan 50% dari penghasilan bruto (norma penghitungan) lalu dikalikan tarif PPh Pasal 17 (5%). Sehingga PPh 21 yang dipotong adalah 5% x (50% x Rp8.000.000) = Rp200.000.
 
8. Perhitungan PPh 21 atas Honorarium dan Fee Profesional
Honorarium dan
fee profesional yang dibayarkan kepada bukan pegawai (seperti narasumber atau tenaga ahli) juga merupakan objek PPh 21. Perhitungannya menggunakan norma penghitungan penghasilan neto sebesar 50% dari penghasilan bruto. Penghasilan neto ini kemudian dikalikan dengan tarif progresif Pasal 17. Contohnya, jika honor narasumber adalah Rp2 juta, maka PPh 21 yang dipotong adalah 5% (tarif PPh terendah) dikalikan dengan 50% dari Rp2 juta, yaitu Rp1 juta. Hasilnya adalah Rp50.000.
 
9. Perhitungan PPh 21 atas Tunjangan Pajak (Gross, Gross-up, Nett)
Ada tiga skema umum dalam pembayaran gaji terkait pajak:
  1. Skema Gross: Pajak sepenuhnya ditanggung oleh karyawan dan dipotong langsung dari gaji bruto mereka. Perusahaan tidak menanggung pajak.
  2. Skema Nett: Perusahaan menanggung seluruh PPh 21 karyawan. Karyawan menerima gaji bersih tanpa ada potongan pajak.
  3. Skema Gross-up: Perusahaan memberikan tunjangan pajak sebesar PPh 21 yang seharusnya dipotong dari gaji karyawan. Dengan demikian, pajak tetap dibayar oleh karyawan namun beban pajaknya ditanggung oleh perusahaan. Skema ini dianggap paling transparan dan akuntabel karena pajak tetap tercatat sebagai penghasilan karyawan.
 
10. Perhitungan PPh 21 atas THR, Bonus, dan Jasa Produksi
Tunjangan Hari Raya (THR), bonus, dan jasa produksi adalah penghasilan yang bersifat tidak teratur, namun tetap dikenakan PPh 21. Perhitungannya sedikit berbeda, di mana penghasilan tidak teratur ini dijumlahkan dengan penghasilan teratur (gaji) dalam satu tahun pajak untuk mendapatkan total penghasilan bruto setahun. Setelah itu, PPh 21 dihitung seperti biasa menggunakan PTKP dan tarif progresif. PPh 21 atas THR dan bonus bisa dihitung secara proporsional atau menggunakan metode khusus jika dibayarkan di luar bulan gaji.
III. Perlakuan Khusus dalam PPh 21
 
11. PPh 21 atas Pesangon, Uang Pensiun, dan Uang Manfaat Pensiun
Pesangon, uang pensiun, dan uang manfaat pensiun memiliki perlakuan pajak yang berbeda, yaitu dikenakan PPh 21 Final. Artinya, pajak dipungut satu kali dan tidak digabungkan dengan penghasilan rutin karyawan. Aturan tarifnya bersifat progresif, namun berbeda dengan tarif umum. Sebagai contoh, pesangon hingga Rp50 juta tidak dikenai pajak (0%). Penghasilan di atas Rp50 juta hingga Rp100 juta dikenai 5%, dan di atas Rp100 juta hingga Rp500 juta dikenai 15%.
 
12. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP): Isu & Simulasi
Ada beberapa isu seputar PTKP yang sering menjadi pertanyaan, terutama untuk suami-istri yang sama-sama bekerja. Jika mereka memilih untuk menggabungkan penghasilan, PTKP yang digunakan adalah PTKP untuk status kawin (K/0) ditambah tanggungan yang ada. Namun, jika mereka memilih pemisahan kewajiban pajak, maka suami dan istri masing-masing bisa menggunakan PTKP TK/0. Meski demikian, total PTKPnya tetap sama, yaitu Rp54 juta untuk suami dan Rp54 juta untuk istri. Hal ini sering menjadi isu kebijakan pajak karena total PTKPnya sama dengan kondisi suami sebagai pencari nafkah tunggal, sehingga dianggap kurang adil.
 
13. Tunjangan dan Fasilitas: Kena PPh atau Tidak?
Sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), fasilitas atau kenikmatan yang diterima karyawan dalam bentuk natura (bukan uang tunai) kini juga dikenai PPh 21. Contohnya adalah fasilitas kendaraan dinas atau rumah dinas yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Nilai pajaknya dihitung berdasarkan nilai wajar fasilitas tersebut, misalnya sewa pasar. Namun, ada beberapa pengecualian yang tidak dikenai PPh 21, yaitu fasilitas yang diberikan oleh instansi pemerintah, natura di daerah terpencil, dan fasilitas yang berkaitan langsung dengan pekerjaan (contoh: seragam atau alat pelindung kerja).
 
14. PPh 21 Pegawai Asing (Ekspatriat) dan Non-Resident
Perlakuan PPh 21 untuk pegawai asing bergantung pada status tempat tinggalnya. Jika seorang ekspatriat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam kurun waktu 12 bulan, ia dikategorikan sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan dikenai tarif PPh 21 normal. Namun, jika ia tinggal kurang dari 183 hari (contoh: 4 bulan), ia dikategorikan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) dan dikenai PPh 21 Final sebesar 20% dari penghasilan bruto. Status ini harus dibuktikan dengan dokumen seperti paspor, kontrak kerja, dan visa.
 
15. PPh 21 untuk Pekerja Freelance dan Influencer
Penghasilan yang diterima oleh pekerja
freelance atau influencer juga termasuk objek PPh 21 karena mereka dikategorikan sebagai bukan pegawai yang menerima jasa pribadi. Perhitungan pajaknya menggunakan norma penghitungan penghasilan neto sebesar 50% dari penghasilan bruto, lalu dikalikan dengan tarif progresif PPh Pasal 17. Contohnya, jika seorang
influencer menerima fee Rp15 juta, maka PPh 21 yang dipotong adalah 5% x (50% x Rp15 juta) = Rp375.000.
IV. Penerapan PPh 21 dalam Praktik
 
16. Penyusunan Bukti Potong PPh 21 dan Formulir 1721-A1/A2
Bukti potong PPh 21 adalah dokumen yang dibuat oleh pemberi kerja sebagai bukti pemotongan pajak. Untuk pegawai tetap, bukti potongnya adalah Formulir 1721-A1, sedangkan untuk pegawai tidak tetap atau bukan pegawai adalah Formulir 1721-A2. Bukti potong ini harus disusun di akhir tahun pajak dan diberikan kepada karyawan paling lambat akhir Februari tahun berikutnya. Bukti potong ini berisi rincian penghasilan bruto, potongan-potongan (biaya jabatan, iuran pensiun), penghasilan neto, PTKP, Penghasilan Kena Pajak (PKP), dan PPh 21 yang sudah dipotong. Dokumen ini sangat penting karena digunakan karyawan sebagai lampiran saat melaporkan SPT Tahunan pribadi.
 
17. Pengisian dan Penyampaian SPT Masa PPh 21 (e-Filing)
Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh 21 kini dilakukan secara elektronik melalui
e-Filing DJP Online atau penyedia jasa aplikasi perpajakan (ASP). Prosesnya dimulai dengan merekapitulasi seluruh penghasilan dan potongan PPh 21 karyawan dalam satu bulan. Data ini kemudian diinput ke dalam aplikasi e-SPT atau e-Bupot, yang akan menghasilkan file CSV. File ini kemudian diunggah ke sistem DJP Online. Setelah berhasil, wajib pajak akan menerima Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) sebagai tanda bukti pelaporan. Batas waktu pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
 
18. e-Bupot PPh 21: Cara Membuat dan Mengelola
E-Bupot PPh 21 adalah aplikasi yang wajib digunakan oleh seluruh pemberi kerja untuk membuat bukti potong PPh 21. Aplikasi ini terintegrasi dengan DJP Online, sehingga proses pembuatan bukti potong dan pelaporan SPT Masa menjadi lebih mudah. Caranya adalah dengan masuk ke menu
e-Bupot 21/26 di DJP Online, menginput data pegawai dan penghasilan, lalu sistem akan menghitung PPh 21 secara otomatis. Setelah bukti potong dicetak, data tersebut dapat diunduh dalam bentuk CSV untuk keperluan pelaporan SPT Masa. Untuk perusahaan dengan jumlah karyawan yang banyak, proses ini juga bisa diintegrasikan melalui API atau ASP.
 
19. PPh 21 atas Karyawan yang Resign dan Pindah Kerja
Ketika seorang karyawan
resign atau pindah kerja, perhitungan PPh 21-nya harus dilakukan secara final pada bulan ia keluar. Perusahaan harus menghitung total penghasilan kumulatif karyawan dari awal tahun hingga bulan ia keluar. Setelah itu, PTKP dihitung secara prorata sesuai masa kerja. Penghasilan Kena Pajak (PKP) kemudian dikenai tarif PPh 21 untuk mendapatkan total PPh 21 yang seharusnya dibayar. Perusahaan kemudian membuatkan bukti potong 1721-A1 untuk masa kerja tersebut. Bukti potong ini penting karena akan diminta oleh perusahaan baru untuk melakukan perhitungan PPh 21 kumulatif.
 
20. Penyesuaian PPh 21 di Akhir Tahun (Prosedur Koreksi)
Kesalahan perhitungan PPh 21 bisa saja terjadi selama tahun berjalan. Koreksi kesalahan ini sebaiknya dilakukan saat rekonsiliasi akhir tahun, yaitu dengan menghitung ulang PPh 21 yang seharusnya terutang setahun. Jika ditemukan kekurangan, perusahaan bisa melakukan pemotongan tambahan di bulan Desember. Sebaliknya, jika ada kelebihan pemotongan, kelebihan tersebut bisa dikompensasi atau dikembalikan kepada karyawan. Jika SPT Masa sudah dilaporkan, koreksi harus disampaikan melalui
SPT Pembetulan agar data pajak valid dan sesuai.
V. Strategi dan Kepatuhan
 
21. Optimalisasi Perhitungan PPh 21: Legal & Efisien
Optimalisasi PPh 21 adalah upaya perusahaan untuk mengelola beban pajak secara legal dan efisien. Salah satu strategi yang bisa digunakan adalah skema
gross-up, di mana pajak yang ditanggung perusahaan tetap diakui sebagai penghasilan karyawan sehingga tidak menjadi biaya yang tidak dapat dibebankan. Strategi lain adalah memanfaatkan natura yang dibebaskan dari pajak, misalnya fasilitas transportasi untuk pegawai lapangan atau makan/minum untuk semua karyawan. Perusahaan juga bisa memberikan tunjangan dalam bentuk
reimbursement biaya aktual daripada tunjangan tetap agar tidak termasuk objek PPh 21. Semua strategi ini harus didukung dengan bukti dan dokumentasi yang valid untuk menghindari masalah saat audit.
 
22. Audit PPh 21: Risiko dan Persiapan Wajib Pajak
Audit PPh 21 adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP untuk memastikan kepatuhan pajak perusahaan. Untuk menghadapi audit, perusahaan perlu menyiapkan dokumen-dokumen penting seperti rekap gaji, slip gaji, bukti potong A1/A2, laporan SPT Masa PPh 21, bukti penyetoran pajak, kontrak kerja, dan formulir status PTKP karyawan. Risiko utama yang sering ditemukan dalam audit adalah pemotongan yang tidak sesuai, natura yang tidak dilaporkan, adanya kekurangan atau kelebihan setor, dan tidak menerbitkan bukti potong untuk tenaga ahli.
 
23. Koreksi Fiskal atas PPh 21 dalam SPT Tahunan Badan
Jika perusahaan mencatat biaya gaji dalam laporan keuangan tetapi tidak melakukan pemotongan atau penyetoran PPh 21 sesuai aturan, maka biaya gaji tersebut tidak dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto. Hal ini disebut sebagai koreksi fiskal positif. Artinya, biaya tersebut akan menambah penghasilan kena pajak perusahaan, sehingga PPh Badan yang terutang menjadi lebih besar. Selain itu, perusahaan juga berisiko dikenai sanksi administrasi dan bunga atas kekurangan setor. Koreksi fiskal ini dicatat dalam Lampiran 3A SPT Tahunan PPh Badan.
 
24. Perbandingan Perlakuan PPh 21 dan PPh 23 untuk Tenaga Ahli
Perlakuan pajak untuk jasa tenaga ahli bergantung pada status hukumnya. Jika konsultan IT adalah
orang pribadi, penghasilannya dikenai PPh 21 sebagai bukan pegawai. Tarifnya adalah 50% dari penghasilan bruto, lalu dikalikan dengan tarif PPh Pasal 17. Sebaliknya, jika konsultan tersebut berbentuk
badan atau firma, maka jasa yang diberikan dikenai PPh 23 dengan tarif 2% dari penghasilan bruto. Penting untuk selalu memastikan status konsultan (pribadi atau badan) sebelum melakukan pemotongan pajak.
 
25. Risiko Tidak Memotong/Menyetor PPh 21 Tepat Waktu
Kelalaian dalam memotong atau menyetor PPh 21 tepat waktu dapat menimbulkan sanksi bagi perusahaan. Risiko utama yang dihadapi adalah sanksi bunga keterlambatan sebesar 2% per bulan atas jumlah pajak yang terlambat disetor. Selain itu, ada denda administrasi yang bisa dikenakan jika ditemukan dalam pemeriksaan, serta biaya gaji yang tidak dapat dibebankan dalam SPT Tahunan Badan. Dalam kasus yang berulang dan disengaja, kelalaian ini bahkan bisa berujung pada sanksi pidana ringan. Solusinya, segera setor pajak yang terlambat dan lakukan pembetulan SPT Masa jika sudah dilaporkan.
VI. Isu dan Perkembangan Terkini
 
26. Perubahan Aturan PPh 21 dalam UU HPP dan Peraturan Terbaru
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) membawa beberapa perubahan signifikan pada PPh 21. Salah satu yang paling penting adalah penegasan kembali bahwa
natura atau kenikmatan (fasilitas non-uang) kini menjadi objek pajak, kecuali yang dikecualikan. Selain itu, ada integrasi NIK (Nomor Induk Kependudukan) sebagai NPWP, yang mempermudah administrasi pajak. Perubahan juga terjadi pada format bukti potong A1/A2 dan pelaporan
e-Bupot PPh 21 yang kini berbasis rincian data karyawan.
 
27. Pajak atas Natura dan Kenikmatan: Implementasi di PPh 21
Seperti yang disebutkan, natura (fasilitas non-uang) kini menjadi objek PPh 21 sesuai UU HPP. Namun, ada daftar natura yang dikecualikan dari objek pajak berdasarkan PMK 66/PMK.03/2023. Pengecualian ini termasuk makanan dan minuman yang disediakan untuk seluruh pegawai, fasilitas transportasi untuk pegawai lapangan, natura yang terkait langsung dengan pekerjaan (misal: alat pelindung diri), serta natura yang diberikan di wilayah tertentu (pedalaman). Sebaliknya, fasilitas seperti mobil dinas yang dipakai pribadi, perumahan pribadi, atau hadiah berupa barang, dikenai PPh 21.
 
28. Studi Kasus: PPh 21 dalam Outsourcing dan Kontrak Pekerja
Dalam kasus
outsourcing, pihak yang bertanggung jawab memotong PPh 21 adalah perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (vendor outsourcing), bukan perusahaan user yang menggunakan jasa tersebut. Ini karena vendor lah yang secara hukum bertindak sebagai pemberi kerja. Namun, jika perusahaan merekrut pekerja kontrak secara langsung tanpa melalui vendor, maka perusahaan user yang wajib memotong PPh 21. Memahami struktur hubungan kerja ini sangat penting untuk menghindari sengketa saat pemeriksaan pajak.
 
29. PPh 21 pada Instansi Pemerintah dan BUMN
Instansi pemerintah, seperti Satuan Kerja (Satker), juga memiliki kewajiban memotong PPh 21. Pemotongan dilakukan oleh bendahara atas penghasilan yang diberikan kepada PNS, honorarium, perjalanan dinas, dan penghasilan lain. Proses pelaporan dilakukan melalui
e-Bupot PPh 21 instansi pemerintah. Sementara itu, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) umumnya mengikuti perlakuan PPh 21 yang sama seperti badan usaha lainnya, meskipun seringkali memiliki regulasi internal yang spesifik.
 
30. Simulasi Perbandingan Skema Pajak Gaji: Nett vs Gross vs Gross-Up
Memilih skema pajak gaji (Nett, Gross, Gross-Up) memiliki dampak berbeda pada perusahaan dan karyawan. Skema Nett membuat karyawan merasa nyaman karena gaji diterima bersih, tetapi kurang transparan dan beban pajak sepenuhnya ditanggung perusahaan. Skema Gross lebih efisien bagi perusahaan karena beban pajak ditanggung karyawan, dan lebih transparan. Sementara itu, skema Gross-Up menawarkan solusi tengah. Beban pajak tetap ditanggung perusahaan melalui tunjangan, namun tercatat secara akuntabel sebagai penghasilan karyawan, menjadikannya pilihan yang ideal untuk transparansi dan kepatuhan fiskal.
PPh Pasal 21/26

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean.....

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan tulang punggung perekonomian nasional, menyerap sebagian besar tenaga kerja dan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi......

Pajak Penghasilan (PPh) Badan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan atau keuntungan yang diperoleh oleh sebuah badan usaha dalam satu tahun pajak.....

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukannya.....

Transfer pricing adalah penentuan harga atas transaksi barang, jasa, atau kekayaan tak berwujud yang terjadi antara dua atau lebih perusahaan yang memiliki hubungan istimewa atau afiliasi....

Pajak merupakan tulang punggung pembangunan negara. Untuk memastikan penerimaan pajak berjalan efektif, pemerintah menerapkan berbagai mekanisme pemungutan, salah satunya adalah withholding tax. Konsep ini ....

Coretax, atau Sistem Inti Administrasi Perpajakan, adalah sebuah platform teknologi informasi terintegrasi yang dirancang untuk mengelola seluruh siklus administrasi perpajakan secara digital. Ini mencakup.....

Pajak Daerah pada dasarnya adalah iuran wajib yang dibayarkan oleh masyarakat kepada pemerintah setempat, yaitu Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Berbeda dengan....

Siapa Kami
Taxindo Prime Consulting adalah merupakan perusahaan yang bergerak di bidang konsultan pajak dari Indonesia dengan spesialisasi jasa perpajakan domestik maupun internasional.

Memiliki berbagai layanan konsultasi perpajakan, yang dapat memberikan edukasi, saran, serta solusi atas seluruh masalah perpajakan secara objektif dan independen.
OFFICE
Mega Plaza Building 12th Floor
Jl. H.R. Rasuna Said Kav C-3 Jakarta 12940

Phone :
+62 21 521 2628
+62 817 001 3303

Email :
info@taxindo.co.id
Copyright © 2025 Taxindo Prime Consulting