Beranda  ❯  Publikasi  ❯  Opini  ❯  PPh 22 Marketplace: Tenang, Ini Bukan Pajak Belanja Kamu
12 Agustus 2025 • TPC

PPh 22 Marketplace: Tenang, Ini Bukan Pajak Belanja Kamu

PPh 22 Marketplace: Tenang, Ini Bukan Pajak Belanja Kamu

Pagi tadi mamah saya chat: “Cepet checkout rice cooker sebelum dipajaki!”
Saya ketawa. Bukan karena diskon flash sale, tapi karena miskonsepsi yang nyaris selalu berulang tiap ada aturan pajak baru. Let me be blunt, yang ramai itu PPh 22 marketplace, dan ini pajak penghasilan penjual yang dipungut otomatis oleh platform, bukan biaya baru di keranjang belanja pembeli. DJP sendiri menegaskan kalau marketplace yang ditunjuk memungut 0,5% dari omzet yang tertulis di invoice penjual (diluar PPN) dan invoice tersebut dipersamakan sebagai bukti pungut—praktis buat administrasi, dan bukan charge ke konsumen.

Kalau kita bedah pelan, PMK 37/2025 menunjuk penyelenggara PMSE—berkedudukan di dalam atau luar negeri—sebagai “pihak lain” pemungut PPh 22, dengan prasyarat tertentu (termasuk escrow account). Tujuannya cukup masuk akal yaitu untuk menyeragamkan perlakuan penjual online dan offline sambil memudahkan kepatuhan (withholding at platform).

Negara pasti merasakan manfaat dari peraturan baru ini karena jadi ada ekstensifikasi basis pajak digital tanpa membebani wajib pajak kecil; data transaksi lebih rinci; dan level playing field antara kanal fisik dan kanal digital. Tapi tantangan utamanya ada di orkestrasi penunjukan (termasuk untuk platform luar negeri) dan konsistensi pelaporan data.
Sekarang, apa poin penting yang baru atau berubah ?

Pembeli / Wajib Pajak
Tidak ada baris “PPh 22” baru di checkout. Secara kebijakan, ini bukan pajak konsumsi tambahan, melainkan cara penarikan pajak penghasilan penjual lewat platform (Entah itu si hijau, oren, atau lainnya). Apakah harga bisa naik karena penjual menyesuaikan margin? Itu keputusan bisnis masing-masing merchant, bukan mandat regulasi. Pesan buat mamah: rice cooker aman—at least dilihat dari “pajak pembeli”. (Kebijakan resminya jelas menyatakan ini bukan pajak baru buat konsumen)

Merchant
Inilah inti permainan. PPh 22 0,5% dipungut dari peredaran bruto yang tercantum di invoice penjual, menjadi kredit pajak untuk penghasilan yang tidak final. Kalau kebetulan jenis penghasilannya final—misal sewa ruangan—maka potongan 0,5% tadi hanya bagian dari pelunasan.
Ada safety net penting untuk UMKM OP dengan omzet sampai Rp500 juta setahun tidak dipungut sepanjang menyampaikan surat pernyataan ke marketplace. Begitu omzet melewati Rp500 juta di tengah tahun, ada kewajiban lapor paling lambat akhir bulan saat terlewati, dan pemungutan 0,5% mulai bulan berikutnya.

Marketplace
Platform yang ditunjuk harus mungut 0,5%, setor bulanan, lapor SPT Masa Unifikasi, dan menyimpan data transaksi (pedagang & pembeli). Plus, mereka perlu flow data untuk surat pernyataan Rp500 juta, serta logic kurir toko vs 3PL. Ini bukan sekadar bikin kolom baru di dashboard; ini architecture change supaya pajak tertarik benar, tepat waktu, dan terdokumentasi rapi.

“Oke, tapi kenapa harus begini?”

Karena PMK 37/2025 menyasar dua hal sekaligus: kepastian & kesederhanaan. Tarif 0,5% menurunkan resistensi, non-final bisa dikreditkan, final dilunasi bertahap, dan UMKM ≤ Rp500 juta dilindungi asalkan patuh administrasi. Dalam bahasa, negara menekankan compliance burden dari jutaan pedagang ke puluhan platform yang (a) punya data, (b) punya sistem pembayaran, dan (c) bisa diaudit by design. Fair enough.

Apa yang perlu dilakukan sekarang (praktis dan to the point)?

Pedagang / Merchant :
Kirim surat pernyataan kalau omzet Anda ≤ Rp500 juta; begitu lewat, lapor akhir bulan itu; reconcile invoice (bukti pungut) dengan pembukuan dan SPT.


Marketplace:
Siapkan sistematika pemotongan PPh 22 tarif 0,5%, pengecualian resmi, cut-off awal bulan pasca-threshold, dan schema data SPT Unifikasi. (Kalau salah di sini, efek dominonya panjang.)


Publik/pembeli:
Santai. Ini bukan baris pajak baru di keranjang belanja. Kalau harga berubah, itu strategi harga penjual, bukan kita dikenain PPh 22.


Menurut saya, Kebijakan PPh 22 marketplace ini tepat arah. Peraturan ini menertibkan pajak penghasilan penjual digital tanpa bikin “biaya baru” di sisi pembeli, melindungi UMKM kecil, dan memberi kepastian administrasi lewat invoice sebagai bukti pungut.

Apakah semua akan mulus? Tentu tidak—execution risk ada di disiplin data pedagang (terutama di titik balik Rp500 juta) dan kesiapan sistem marketplace. Tetapi, dengan desain 0,5% yang friction-light dan failsafe administrasi yang jelas, saya melihat ini sebagai contoh regulasi pajak yang pro-compliance, berbasis data, dan minim distorsi.

Kalau semua pihak main rapi, negara dapat kepatuhan, marketplace tetap user-friendly, dan pedagang tidak merasa “dihukum” hanya karena berjualan online. Win-win—dan ya, mamah tetap bisa pesan rice cooker favoritnya tanpa drama pajak di keranjang.
Siapa Kami
Taxindo Prime Consulting (TPC) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang konsultan pajak, akuntansi, bisnis dan hukum bisnis. TPC memiliki berbagai layanan konsultasi yang dapat memberikan edukasi, saran, serta solusi atas seluruh masalah perpajakan, akuntansi dan bisnis secara objektif, mendalam dan independen.

TPC memiliki berbagai layanan perpajakan, akuntansi dan hukum bisnis yang meliputi antara lain konsultasi pajak domestik, konsultasi pajak internasional, penyusunan dokumentasi transfer pricing, pendampingan pemeriksaan pajak, pendampingan penyelesaian sengketa pajak (litigasi), layanan perencanaan dan manajemen pajak, tax due dilligence, strukturisasi transaksi, layanan tinjauan perpajakan atas rencana transaksi, layanan bea cukai, jasa konsultan bisnis dan akuntansi serta layanan konsultasi hukum.
KANTOR
Mega Plaza Building 12th Floor
Jl. H.R. Rasuna Said Kav C-3 Jakarta 12940

Phone :
+62 21 521 2686
+62 817 001 3303

Email :
info@taxindo.co.id
Copyright © 2025 Taxindo Prime Consulting
Taxindo Prime Consulting
Gabung Newsletter